Setelah S1 Mau Ngapain Selanjutnya?

Mungkin beberapa kawan yang sudah melakukan sidang skripsi bingung setelah ini mau ngapain? Jangankan yang sudah sidang, akupun juga begitu lagi di fase bingung entar mau ngapain. Kalau menurut pattern hidup yang ada di masyarakat habis kuliah-kerja-nikah, entah aku nantinya mengikuti pattern itu apa tidak, masih abu-abu. Tapi aku sangat memiliki banyak keinginan, entah itu keinginan yang sementara atau keinginan yang harus diwujudkan. Disaat bingung-bingungnya kemarin-kemarin nih sering banget lihat status temen di media sosial ada yang update tentang kerjaannya, tentang bisnisnya, dan lain sebagainya. Sedangkan aku masih rebahan sambil melihat story mereka, sebagai manusia sifat alamiah itu sering muncul, iya insecure. Setelah melihat story mereka suka mikir dan ngebandingin sama diri sendiri, ketika mereka sudah mencapai sukses dengan definisi mereka, sedang aku masih belum. Suka lupa aja sih bahwa setiap masing-masing manusia punya proses yang berbeda-beda.

Dan aku juga terlalu mikirin fokus ke masa depan dari pada menikmati proses yang sekarang. Padahal belum tentu juga nanti aku bisa seperti sekarang rebahan, leha-leha, banyak belajar hal baru, sering nulis, belajar mengulang hal-hal yang belum dikuasai pada saat kuliah dulu dan tentunya masih bisa baca dan nonton serial drama hehe. Sekarang sih alhamdulillahnya sudah sadar dan lebih enjoy menikmati prosesku sekarang, lagi-lagi hidup kita tidak sama dengan hidup orang lain. Jangan terlalu mikirin hal yang masih abu-abu, punya target memang harus tapi jangan sampai lupa dengan yang sedang dijalani. Sebuah pesan dari diriku yang masih harus banyak belajar ini.

Oi ya, mengenai pertanyaan “setelah S1 mau ngapain selanjutnya? Sebenarnya aku punya keinginan untuk kerja, bukan mengikuti pattern yang ada di masyarakat. Tapi dari aku memang pengen kerja dan pengen juga nantinya punya bisnis. Intinya pengen dua-duanya karena kalau punya bisnis tentu harus punya modal dulu, kalau dapetin modal ya tentu bagi sebagian orang termasuk aku cari modalnya lewat kerja. Ngomong-ngomong soal bisnis, aku suka heran sih sama orang-orang yang udah punya bisnis tapi mereka ngatain orang yang kerja dengan sebutan “budak korporat”, istilah ini menurut Asilia Kamilia dalam artikel di magdalane.co yang berjudul “Jangan Sebut Kami Budak Korporat”, digunakan untuk mendefinisikan mereka yang bekerja dari hari Senin hingga Jum’at di sebuah perusahaan dan menjalani rutinitas pekerjaan yang cenderung statis. Biasanya orang menggunakan istilah ini karena menganggap budak korporat cuma disuruh-suruh atasan, dipaksa lembur, dan menerima gaji bulanan yang nyaris tidak sebanding dengan waktu dan energi yang didedikasikan. Beda halnya dengan mereka yang mempunyai bisnis.

Tidak hanya mereka yang bekerja di perusahaan, bekerja diluar perusahaan, pokok yang ikut orang juga sering dikatain “masih jaman aja ikut orang” dan lain sebagainnya. Kesannya orang yang kerja itu salah dan seakan-akan yang paling enak itu bisnis. Waktu itu ada temenku dia sekarang ikut bisnis kayak MLM tapi katanya sih bukan MLM kayak jual produk tertentu gitu, dia chat dan tanya selepas wisuda bakal sibuk apa? Ya aku jawab aja mau cari kerja sekalian cari modal buat usaha. terus dia bilang “jadi muslim memang harus punya usaha alias bisnis. Biar punya pengaruh. Pasti kamu tau kan, sabda Allah kalo 9 dari 10 rejeki dari perdagangan, gak jamannya lagi kerja ikut orang”, begitu katanya. Aku gak suka aja gitu dia bilang kayak gitu seakan-akan semua itu harus punya bisnis kayak dia, dia aja bisnis tapi masih ikut orang juga kan? Hm. Terus ya emang bisnis itu sangat dianjurkan, tapi setiap manusia itu punya pilihan masing-masing. Ada yang punya pilihan untuk kerja yang dia nyaman dan suka dengan pekerjaannya, dan ada juga yang menjalankan usaha karena ia suka. Menurutku tergantung masing-masing orang yang penting itu pilihannya, ia suka dan ia punya passion di bidangnya. Lalu dia jawab lagi seperti ini:

Emang dia pernah punya pengalaman kerja dan dapet gaji tapi belum bisa memenuhi tanggung jawabnya dan mencapai mimpi-mimpinya. Iya memang kalau punya tanggung jawab memenuhi kebutuhan pribadi maupun keluarga di bidang yang ia passion dan suka itu belum tentu bisa. Tapi menurutku selalu aja ada jalan jika kita berusaha meskipun jalannya kita kerja di bidang yang membuat kita nyaman tapi gajinya belum bisa memenuhi, kan bisa cari sampingan lain. Dari pada harus memaksakan buka usaha tapi dia gak ada passion dan ia juga tidak suka. Ya kembali lagi tergantung masing-masing orang. Kalau aku, aku akan kerja sesuai dengan passion tapi tidak memungkiri kalau nantinya kerja yang tidak sesuai dengan passion dan hanya lihat peluang sih, tapi aku gak akan berorientasi pada gaji. Ya emang tidak memungkiri bahwa urusan finansial itu harus tercukupi, tapi kalau kita berorientasinya pada gaji terus, hidup gak akan bahagia, ngerasa kurang terus dan gak cukup. Terus aku suka kagum juga sama orang-orang yang bekerja sebagai “pekerja sosial” dan bekerja di bidang sosial. Mereka gajinya sedikit dibandingkan dengan kerja di bidang lain, tapi mereka bisa membantu orang lain. Aku ingin kerja gak hanya untuk diriku sendiri tapi aku bisa membantu orang lain juga. Oi ya mengenai bisnis emang bisnis itu sunnah nabi, tapi kalau kalian yang gak ingin bisnis, kalian masih bisa mengikuti sunnah nabi yang lain.

Mengenai istilah “budak korporat” itu adalah sebuah stigma negatif, bisa saja orang yang dipanggil sebagai budak korporat tetapi mereka sebenarnya sangat enjoy dan passion dibidangnya seperti kataku tadi. Apa pantas kita masih menyebutnya budak? Kalaupun pilihan mereka mendedikasikan waktunya untuk kerja di perusahaan atau kerja di tempat lain, mengapa kita harus menghakimi? Bisa saja kita yang menghakimi terlalu malu untuk mengakui bahwa kita juga menjadi seseorang yang mengabdi terhadap suatu hal.

Berbicara apa yang harus dilakukan setelah lulus, ada pertanyaan juga dari dosen maupun dari temen “Kamu gak lanjut S2?”, pertanyaan tersebut masih menggantung di kepalaku. Waktu aku dulu semester 3 hinga semester 7 masih ada keinginan untuk S2, bahkan itu tertulis di daftar keinginanku yang aku tempel di dingding kamar kos. Entah masih bingung aja, itu bener-bener keinginanku apa aku ikutan orang lain? dan masih ada pertanyaan juga kalaupun aku ingin s2 itu aku bener-bener butuh s2 atau aku hanya ingin memperoleh gelar saja?. Disatu sisi aku seneng belajar tentang “Kajian Gender”, entah kenapa mata kuliah studi gender waktu aku semester 2 itu bener-bener nempel banget di otakku dan aku suka. Kalaupun nanti lanjut s2 pengen sekali lanjut di bidang kajian gender, walaupun memang gak sama jurusannya dengan S1 ku tapi masih berkesinambungan, kalau yang selaras dengan prodiku ya aku pengen S2 nya kesejahteraan sosial atau gak pekerjaan sosial.
Sebagai penutup aku ingin memberikan sebuah quote:

Apa yang menjadi pilihanmu tidak harus sama dengan pilihan orang lain. Begitu pula dengan pilihan orang lain tidak harus sama dengan apa yang menjadi pilihanmu. Jadi jangan mendikte orang lain untuk menjadi apa dan harus bagaimana sesuai dengan apa yang kamu inginkan.

Pasangan Hidup dan Segala Unek-unek Tentang Pernikahan

Sebenarnya aku tidak berniat untuk menuliskan mengenai tipe pasangan hidupku nanti. Tapi karena ada request dari dek Alif teman satu kosku di Jember, jadilah tulisan ini. Dia sudah lama request tentang tulisan mengenai tipe pasangan, baru hari ini bisa aku tulis karena kebetulan ada uneg-uneg yang pengen aku keluarkan tentang pernikahan, jadi sekalian membahas tipe pasangan hidupku. Aduh agak cringe gak sih kalau disebut pasangan hidup?

Seringkali aku ditanya oleh kawan-kawan tentang perihal tipe pasangan. Biasanya mereka bukan menyebut pasangan tapi suami? Agak lebih cringe lagi menurutku jadi aku ganti pasangan hidup. “Tipe idaman suami kamu nanti gimana?”. Entah perihal tersebut menjadi pembicaraan yang wajar diatas umur 20 tahun atau memang mewabahnya pernikahan muda mudi dikalangan umur 20 tahunan. Bahkan remaja dibawah umur 20 tahunan obrolannya sekarang bukan tentang cita-cita tapi tentang menikah muda dan jodoh. Aku tidak menolak menikah muda, tentunya itu pilihan masing-masing orang. Tapi mengapa harus dikampanyekan?

Menikah muda dikampanyekan seolah-olah menikah muda itu enak. Tidak diberi tahu dibelakangnya seperti apa. Apalagi dikampanyekan dengan mengunakan campaign “Lebih baik menikah dari pada zina”. Seolah-olah hanya ada dua pilihan menikah dan zina, padahal pilihan lain banyak untuk menghindari zina. Bisa melakukan kegiatan positif entah yang ikut organisasi, ikut kegiatan volunteering, kegiatan kemanusiaan, kerja, kuliah, bisnis yang lebih bermanfaat dari pada menikah tapi tidak siap mental dan menikah hanya karena campaign “lebih baik menikah dari pada zina”.

Aku setuju sih kata Gita Savitri seorang Youtuber yang mengatakan:

Dari pada zina lebih baik melakukan hal positif

Itu lebih positif. Ketimbang menikah hanya karena pengen menghindar dari zina. Menikah bukan persoalan menghindari zina saja tapi banyak hal lain setelah pernikahan itu. Misalnya saja kamu menikah tapi pada kenyataannya kamu gak siap pas punya anak, anaknya ditelantarkan, KDRT lah, belum lagi mengajari anak tentang ilmu entah ilmu agama atau umum dan banyak hal lainnya. Menikah perlu ilmu banyak sekali terlebih ketika pengen punya anak. Harus dipersiapkan betul sebelum pernikahan tentang edukasi tentang hubungan pernikahan dan parenting.

Kembali ke pertanyaan “Tipe suami idaman kamu seperti apa?”, eh jadi kayak yang viral kemarin-kemarin. Aduh diganti saja “tipe pasangan kamu seperti apa?”. Sebenarnya kalau ditanya perihal ini dulu sebelum grow up aku selalu jawab point penting yang harus jadi pasangan aku itu yang sholeh, yang agamanya baik, dan bisa mengubah diriku menjadi lebih baik. Cielah, klise bahas ginian haha. Begitupun dengan temanku yang hampir sama jawabannya dengan jawabanku. Rata-rata pengen yang sholeh. Setelah grow up jadi banyak pemikiran, sebenarnya yang sholeh itu yang kayak gimana sih? Apa yang sering sholat lima waktu? Apa yang sering shodaqoh tapi di upload di sosial media atau yang sering mengaji dan ikut kajian ini itu tapi sering di upload juga di sosial media? Dan lain sebagainya. Aku juga mikir apakah yang kita lihat itu entah lihat di media sosial atau kita lihat langsung dia rajin sholat, ngaji dan ini itu pasti dia baik?belum tentu, kita hanya lihat dari luarnya. Bisa jadi pengaplikasian yang lain tentang apa yang telah diajarkan oleh agama Islam tidak dijalankan. Terus kita ini siapa sih kok menilai orang lain baik agamanya, sholeh dilihat hanya karena dia rajin sholat, rajin ngaji dengan mengatakan bahwa ia sholeh, padahal yang dapat menilai tentang keislaman seseorang itu ya hanya Allah.

Banyak juga orang yang mengerti agama, orang yang rajin sholatnya dan rajin ibadah sunnahnya malah melakukan hal yang tidak baik dan tidak dianjurkan oleh agama. Seperti contoh dibawah ini:

Sumber: https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200124091404-12-468230/modus-pencabulan-anak-kiai-di-jombang-ancam-dan-janji-nikahi
Lanjutkan membaca “Pasangan Hidup dan Segala Unek-unek Tentang Pernikahan”